Bidikdotcom Pilkada Kota Bitung sementara berlangsung lewat proses kampanye dari ke tiga Paslon yang akan bertarung pada pemilihan 9 Desember mendatang. Tentu dari semua di paparkan oleh para calon Walikota dan Wakil Walikota lewat program-program memiliki misi serta visi jelas dan bertujuan memberi kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Kota Bitung.
Sebagaimana bahasan kita, semua program dalam misi serta visi para calon di masa-masa kampanye ini apakah memiliki arti bahwa mereka juga sementara menjalankan edukasi kepada masyarakat bagaimana melihat pesta demokrasi sebagai wahana untuk kesejahteraan bersama atau tidak.
Baca Juga : Benarkah 2021 Tenaga Kontrak Kota Bitung Berstandar Sarjana
Ataukah paling utama trik memenangkan pilkada sehingga nilai-nilai mendidik terhadap masyarakat dalam pemahaman mereka tentang politik tidak perlu di perhatikan toh pada akhirnya jika terpilih masyarakatpun tidak akan mempersoalkannya sebab masa ini hanya berlaku pada lima tahunan.
Memang benar selesai memilih masyarakat pasti tidak akan mempersoalkannya karena siapapun terpilih adalah Walikota dan Wakil Walikota, Kota Bitung milik seluruh rakyat tanpa lagi melihat warna partai, perbedaan pandangan dan lain sebagainya. Tetapi meskikah di abaikan hal-hal menyanngkut pendidikan politik pada masyarakat selesai pada masa pemilu saja.
Undang-Undang tentang Partai Politik No 2 Tahun 2008 Pasal 2 no.4 poin (h) menyebut Pendidikan Politik. Demikian juga pada Pasal 10 BAB 5 tentang Tujuan dan Fungsi Partai Politik ayat 2 tentang tujuan khusus Partai Politik poin (c) dimana menyebutkan bahwa Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menjadi pertanyaannya etika dan budaya politik model bagaimana dimaksud oleh isi perundangan ini yang seharusnya di bangun oleh para parpol sebagai peserta dalam setiap pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Sebab hingga hari ini persoalan etika dan budaya dalam politik masih menjadi polemik umum dimana saling menjatuhkan, mengejek, provokasi antar sesama paslon maupun dari simpatisan terus mewarnai perhelatan demokrasi tanah air yang ujung-ujungnya jika tidak di sikapi dengan bijak maka perseteruanlah akan terjadi bahkan lebih ekstrim dari yang di duga.
Etika dan budaya dalam berpolitik di masa-masa kampanye adalah hal patut untuk di terapkan dengan bijak oleh partai politik kepada simpatisan pendukung Paslon, para pengurus partai dan seluruh masyarakat yang akan ambil bagian dalam pesta demokrasi.
Namun sangat di sayangkan etika dan budaya dalam berpolitik apalagi seperti pemilIhan kepala daerah saat ini hanya sekedar di ucapkan dan terterah di atas aturan, maka sama saja tidak ada gunanya sebab jika itu seratus persen di jalankan oleh paslon tentu ada sudut pandang lain dirugikan.
Inilah kemudian menjadi jurus-jurus ampuh bidikan para paslon menjadikan “uang” sebagai senjata empuk meraup keuntugan suara dari paslon lainnya.
Uang disandingkan dengan pesta demokrasi (money politik) menurut beberapa orang adalah biasa sehingga ungkapan “ada uang ada suara” menjadi strategi jitu juga bagi para pemilih mendapatkan keuntungan. Memang siapa yang tidak ingin uang apalagi tanpa harus bersusah paya medapatkannya pasti semua orang menginginkannya hanya saja apakah ini adalah bagian dari etika dan budaya dalam berdemokrasi.
Atau apakah prinsip kasih uang yang penting menang sebagai tujuan dalam dunia pemilihan seperti kepala daerah saat ini dan khsusnya juga Kota Bitung sebagai hal biasa dan tak perlu dikritisi? ini namanya salah besar jika semua di dasarkan uang jelas demokrasi mulai merosot orang tidak lagi melihat pemilu sebagai lomba menuangkan ide dan gagasan untuk tujuan kesejahteraan tetapi lebih kepada mencari keuntungan kepada mereka yang mencalonkan diri.
Pemilu Kota Bitung pun mulai berhembus dengan akan di bagi-bagikannya uang oleh salah seorang Paslon dengan iming-iming bervariasi pada 9 Desember mendatang tentu dari etika dan budaya dalam berdemokrasi jelas ini mencoreng, sebab sampai kapanpun dalam kampanye nilai ini kurang di suarakan bahkan tidak sama sekali maka percuma poin mulia tersebut di jadikan undang-undang.
Masyarakat pun didik dengan cara yang tidak elegan dan telah membudaya hingga hari ini memili paslon karena memberi uang bukan dengan kinerja program ditawarkan tidak membuat rakyat bergeming lagi sebab yang di pikirkan hanya uang
Jika demikian bagaimana seluruh partai politik peserta pemiliu di Kota Bitung menanggapi hal ini dan sejauh mana pendidikan politik di pemilihan kepala daerah tersosialisasi kepada seuruh lapisan masyarakat apakah prinsip yang penting menang sudah cukup ataukah ada hal lain.
Baca Juga : Debat Akhir Pilpres Amerika Biden Ungguli Trump
Menyikapi seandainya benar ada paslon akan membagi-bagikan uang, maka di harapkan ada semacam gerakan kesadaran dari masyarakat untuk dapat menahan hal ini bahkan kalau bisa di laporkan kepada yang berwenang meskipun kita membutuhkan uang. Bila ini menjadi konstitusi untuk di jalankan maka waktu-waktu selanjutnya ada warisan berharga atas tindakan hari ini kita lakukan untuk generasi selanjutnya.(bdc)