Bidikdot Peristiwa baptisan adalah salah satu bukti dari pertumbuhan Gereja sebagai persekutuan orang yang percaya. Dengan adanya sakramen baptisan maka persekutuan itu pun akan semakin bertumbuh dan berfungsi.
Fungsi dimaksud seperti lewat peran orangtua terhadap anak yang dibaptis; dan hal ini bukan saja terbatas pada papa, mama, papa ani, dan mama ani melainkan seluruh orangtua dalam persekutuan jemaat (terhadap anak yang dibaptis).
Lewat baptisan, seorang anak “diterima” ke dalam persekutuan jemaat di mana pemeteraian Tuhan telah berlaku. Oleh sebab itu, sah-sah saja apabila keluarga berpesta sebagai tanda sukacita, namun biarlah sukacita itu pun diwujudkan melalui perilaku (keluarga) jemaat dalam memaknai arti pembaptisan yakni ketika mengisi proses kehidupan selanjutnya.
Itulah pesta yang sesungguhnya, yakni pada saat kita memutuskan serta bertindak untuk menjadi “pemenang” atas berbagai bentuk kegelapan yang mengepung kehidupan orang percaya.
Dengan demikian maka pembaptisan itu bukanlah sekedar tradisi atau acara seremonial belaka; sejak zaman dahulu baptisan dilaksanakan sebagai tahap yang menandakan pertumbuhan iman serta pemberian diri.
Disanalah suatu permulaan untuk menapaki perjalanan hidup selanjutnya di mana pemberian diri untuk dituntun oleh Tuhan benar-benar dipraktekkan.
Berpesta, memilih perangkat orangtua baptisan, atau hal-hal lainnya bukanlah persyaratan, apalagi tujuan; karena pemaknaan baptisan itu masih harus dijalankan dan diisi menurut kehendak Allah.
Untuk semua itu, satu hal yang dapat kita pejari dari perikop minggu berjalan ini yakni “… ketika Paulus menumpangkan tangan membaptis mereka, maka turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh serta bernubuat (KisPR 19:6).
Baptisan bukanlah sekedar upacara yang terlihat oleh mata fisik, namun sesuatu akan terjadi melalui peristiwa itu, dan yang pasti sesuatu yang ajaib dari Tuhan. Immanuel.